Kepercayaan Dayak Kanayatn yang Melatarbelakangi Pantak
Sebutan Pantak yang dikenal dalam masyarakat suku Dayak berarti patung yang mengandung nilai spiritual. Dikatakan demikian sebab pembuatan pantak tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mendasarinya.
Masyarakat Dayak pada umumnya mempunyai keyakinan yang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maksud ini dapat dijelaskan dengan prinsip kepercayaan masyarakat terhadap Jubata Ne' Patampa' (dalam bahasa Kanayatn), yang dapat diartikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Jubata disebut juga Ne' Pajaji atau Ne' Panitah, artinya Tuhan Sang Pencipta atau Yang Memfirmankan.
Salah satu perwujudan hubungan masyarakat Dayak dengan Sang Pencipta dilakukan dalam bentuk doa, yang dinamakan nyangahatn (sangahatn) yang ditandai bentuk penyerahan hasil bumi dan hasil ternak yang dimiliki. Dengan demikian, maka iman dari umat dalam perjanjian lama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kain dan Habel serta Abraham dan Yakub.
Sejauh penulis ketahui, memang belum ada penelitian yang menjelaskan apakah kepercayaan masyarakat Dayak ini merupakan sisa kepercayaan seperti yang dikenal salam sejarah penyelamatan umat manusia. Namun yang pasti ialah, bahwa bentuk ini merupakan perwujudan sikap masyarakat yang bersifat lugu, penuh dengan kesederhanaan dan keterbukaan.
Hubungan masyarakat Dayak dengan Jubata Ne’ Patampa’, Tuhan Yang Maha Kuasa, dilakukan melalui baras banyu (lambang yang dianggap suci). Artinya, sadar akan dosa, masyarakat Dayak merasa tidak layak berhubungan dengan Sang Pencipta. Oleh sebab itu diutuslah baras banyu, yang suci sebagai komunikator. Setelah komunikasi berlangsung, maka maksud dan hajat keluarga atau masyarakat dinyatakan/disampaikan (disangahatn/dibamangkatn) oleh seorang imam yang dinamakan Panyangahatn.
Di samping kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Jubata Ne’ Patampa’, masyarakat Dayak juga mempunyai keyakinan akan adanya kehidupan kekal. Artinya setelah kematian, maka roh seseorang yang meninggalkan jasad akan terus hidup. Dalam pengertian suci, roh-roh tersebut dinamakan Pama. Sedangkan dalam pengertian negatif, maka roh tersebut dinamakan hantu, setan dan segala macamnya.
Masyarakat Dayak percaya bahwa hantu (roh jahat) selalu mengganggu manusia, baik secara fisik maupun rohani. Sedangkan Pama (roh suci dari nenek moyang) selalu melindungi, menjaga dan memelihara keturunannya yang masih hidup atas kehendak Jubata Ne’ Patampa’. Dalam hal ini, maka Pama oleh masyarakat Kanayatn dinamakan Ne’ Pangingu, Ne’ Pangingo. Atas dasar kepercayaan ini, maka keturunannya yang masih hidup selalu merindukan, hormat dan berhubungan dengan para Pama menurut adat tradisi. Percaya atau tidak, kejadian-kejadian aneh, insidental di tengah kerusuhan antaretnis Kalimantan Barat selalu diyakini sebagai perwujudan hubungan inilah, maka dalam masyarakat Dayak berkembang kebudayaan Pantak.
Makna Pantak bagi Masyarakat Dayak Kanayatn
Untuk memahami suatu budaya, kita juga harus mempelajari sejarah, nilai dan kepercayaan yang melatarbelakangi budaya bersangkutan. Menurut versi penutur, Pantak bermula dari sejarah seorang tokoh bernama Ne' Nabi, bagalar/berpangkat Sekitar Tanah (baca: H. Bahari S., 1992, Pantak dalam Hubungan dengan Kepercayaan dan Kehidupan Masyarakat Dayak Kanayatn). Sesuai dengan Sekitar Tanah, maka peranan Ne’ Nabi, sebagai penguasa tanah/bumi sangat dirasakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu pada saat meninggalnya tokoh tersebut, secara fisik, masyarakat merasa kehilangan seorang pemimpin.
Sesuai dengan kepercayaan adanya kehidupan kekal, maka masyarakat yakin bahwa Pama (arwah) Ne’ Nabi tetap akan melindungi dan menjaga kehidupan mereka. Untuk menghadirkan Pama Ne’ Nabi ini, maka Ne' Ranjang (salah seorang imam pada waktu itu), mengusul supaya beliau dipanaki’.
Dipanaki’ berasal dari baha Kanayatn, yakni pantak, artinya ditancapkan atau dipahatkan, di masukan ke dalam. Dalam konteks usulan Ne’ Ranjang tersebut, ... dipantaki’, berarti menitahmasukkan Pama (arwah) Ne’ Nabi ke dalam patung kayu yang diwujudkan melalui permohonan kepada Jubata Ne’ Patampa’.
Untuk mewujudkan kehendak Jubata Ne’ Panampa’, Ne’ Ranjang yakin bahwa segala usaha mesti diakukan secara suci dan sakral. Oleh sebab itu seluruh rangkaian kegiatan yang bermula dari:
memilih kayu
narah,
ngalamputn tali nyawa dan mihara,
nanam pantak,
baroah selalu dilaksanakan penuh sakral dalam upacara adat yang diiringi dengan sangahatn (doa dalam kepercayaan Dayak Kanayatn).
Dalam seluruh prosesi tersebut, puncak misteri kepercayaan Dayak Kanayatn terhadap kuasa Tuhan, Jubata Ne’ Patampa’, nampak dalam kegiatan ketiga, yakni ngalamputn tali nyawa. Artinya pemulihan jiwa. Iman kepercayaan Dayak Kanayatn terhadap Tuhan, Jubata Ne’ Patampa’, secara mendalam tersirat dalam permohonan yang disampaikan oleh Panyagahatn.
...... Kami bapinta’ ka’ kita’ Jubata supaya Pame Ne’ Nabi kita’ lamputn manjaji bacumcupm, idup baringu ka’ dalapm pantak, ... Kita’ nang samula idup, semula jaji, pamane batitah, supaya ampahe ja Kita’ ..... - sengat bapinta’ ka’ nyaru (nafas dimintakan kepada angin) - kata bapinta’ ka’ late’ (suara dimintakan kepada petir/halilintar) - gageh bapinta’ ka’ ai’ (tenaga/gerak dimintakan kepada air)
dari cuplikan doa (sangahatn) tersebut dapat diketahui bagaimana keyakinan nenek moyang Dayak Kanayatn terhadap kuasa Jubata
Macam Pantak
Macam pantak ditentukan oleh wawasan dan spesialisasi tokoh pama semasa hidupnya. Dalam konteks konsepsi tentang pantak, pemimpin dalam masyarakat Dayak dikategorikan menjadi dua, yakni:
Pemimpin bidang pertanian, dinamakan tuha tahun atau papadiatn (selalu berlimpah ruah produksi padinya, dapat memberi petunjuk secara jitu dengan menggunakan isyarat binatang dan gejala alam lainnya).
Pemimpin perang dan pengobatan
Dalam perang, dinamakan pangalangok
Dalam pengobatan, dinamakan dukun (dukun pamaliatn)
Tokoh yang dipantaki dalam masyarakat Dayak biasanya pemimpin yang berhubungan dengan proses penumbuhan dan pengembangan komunitas baru. Dalam hal ini, maka pantak menjadi milik dan pengayoman seluruh komunitas tersebut. Sedangkan pantak yang dibuat selanjutnya, umumnya hanya menjadi milik keluarga tokoh yang dipantaki.
Dengan demikian, pantak dalam masyarakat Dayak digolongkan menjadi tiga golongan, seperti yang dijelaskan pada tabel berikut ini.
No. Nama Pantak Spesialis Tokoh Lingkungan Pengayoman
1 Pantak Panyunggu Tuha tahutn/papadiatn (tokoh pertanian) Seluruh masyarakat
2 Pantak Padagi Pangalangok atau dukun (tokoh perang dan pengobatan) Seluruh keluarga
3 Pantak Keluarga Peneladanan keluarga Keluarga yang bersangkutan
Hubungan dengan Pama (Arwah Leluhur) dalam Upacara Nabo’ Pantak
Menurut penjelasan terdahulu, pantak dalam masyarakat Dayak mempunyai arti sebagai perwujudan hubungan (media) antara manusia (talino), dengan arwah leluhurnya (pama), sebagai pengayom atas kehendak Jubata Ne’ Patampa’, Ne’ Panitah.
Hubungan arwah leluhur (pama) dengan keturunannya secara spiritual (rohani) berlangsung terus menerus, tidak terikat dengan ruang dan waktu. Namun secara formal, tradisi hubungan masyarakat dengan leluhurnya, dilaksanakan dalam waktu tertentu dalam bentuk acara ritual, keagamaan. Bentuk-bentuk hubungan ini menjadi bagian dari upacara adat/keagamaan yang dilaksanakan rutin setiap tahun. Adapun upacara adat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Nabo’ Pedagi
Dilaksanakan setelah siklus dunia pertanian (patahunan) dengan segenap rangkaian kegiatannya, yakni sekitar bulan Mei. Di Kabupaten Pontianak ditetapkan tanggal 27 Mei. Dalam upacara adat ini, masyarakat melalui perantara Penyangahatn dan dukun memohon sampore (obat) yang dapat menawarkan semua kesalahan yang telah dilakukan selama kurun waktu tahun yang berlalu. Pemohon ini secara khusus dimintakan kepada Pama Leluhur, atas restu Jubata Ne’ Patampa’. Untuk memasuki proses pembersihan diri ini, masyarakat melaksanakan laku sesuai dengan petunjuk yang diperoleh dalam bentuk isyarat-isyarat yang diperoleh selama upacara Nabo' Pedagi. Setelah upacara ini, masyarakat selama tiga atau tujuh hari/malam, tidak boleh melakukan kegiatan rutin dan makan makanan secara terbatas. Masa ini dinamakan hari Balala' (pantang).
Jadi tujuan upacara ini adalah meminta perobatan (sampore) untuk menghilangkan semua kesalahan laku yang mungkin terjadi selama setahun berselang. Kemudian dilanjutkan dengan pantang sebagai tanda perobatan atau penyembuhan diri, yang diartikan baik secara fisik maupun secara spiritual.
Laku/perbuatan yang dilaksanakan selama pantang:
Tidak boleh bekerja secara fisik
Tidak boleh memetik tangkai (ranting dan daun), dinamakan ngalayu.
Tidak boleh makan sayuran segar (dalam arti yang baru dipetik).
Tidak boleh makan daging berdarah panas.
Di samping yang dilaksanakan secara rutin (setiap tahun), pantak pedagi dapat di tabo’ (dihubungi) pada saat dunia huru-hara. Upacara dilakukan pada saat ini bertujuan untuk meminta kekuatan (bala) kepada leluhur, supaya selama peperangan terhindar dari serangan musuh. Atau selama perang berlangsung diberi kekuatan yang sulit dibendung oleh pihak apapun.
Nabo’ Panyungu
Dilaksanakan setelah tujuh hari dilakukannya pantang lala'. Jadi di Kabupaten Pontianak hari Nabo’ Panyugu dilaksanakan tanggal 5 Juni setiap tahun.
Tujuan upacara ini dapat diartikan secara luas menjadi:
Menginformasikan kepada leluhur dan Jubata Ne’ Patampa’ bahwa masyarakat akan turun berladang (memasuki masa petahunan baharu).
Mohon pemberkatan benih yang akan ditanam dalam perlindungan atas ladang atau sawah yang akan dibuka tahun itu. Serta memohon petunjuk-petunjuk yang berhubungan dengan area atau lahan yang akan digarap tahun yang bersangkutan.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka semua kepala keluarga wajib turut membawa benih masing-masing di Panyugu dengan korban sedikitnya seekor ayam per keluarga.
Khusus bagi Pantak Keluarga, cara nabo’ biasanya dilaksanakan secara insidental menurut momen tertentu. Misalnya pada saat keberhasilan panen tercapai karena perlindungan leluhur yang patut dihormati.
Bagi keluarga yang tidak memiliki Pantak Keluarga, maka hajat untuk pembayaran niat (pelepasan niat) biasanya dilakukan di Pantak Pedagi atau di Pantak Panyugu, sesuai dengan niat awalnya.
Upacara Adat Nabo’ Pamtak dalam Komunitas Radakng
Seperti masyarakat Dayak lainnya, suku Dayak Kanayatn juga hidup dalam satuan rumah-rumah yang dinamakan Radakng. Radakng dalam bahasa suku Kanayatn tidak dapat disamakan dengan rumah petak, seperti rumah toko diperkotakan. Sebab radakng mempunyai karakteristik yang unik baik secara fisik maupun sosial, seperti yang dijelaskan berikut ini.
Radakng terbentuk dari beberapa (puluhan) rumah yang dibangun satu per satu, secara berangkai, sehingga membentuk satuan rumah panjang.
Setiap rumah panjang dibangun dalam kurun waktu yang berbeda.
Sebagai contoh rumah adat saham menemukan wujudnya yang terakhir setelah tahun delapan puluhan. Dengan demikian, maka masa pembangunan radakng (rumah adat Saham) memakan waktu ratusan tahun.
Radakng dibangun dalam bentuk panggung yang relatif tinggi.
Penghuni radakng terikat dalam hubungan kekerabatan. Artinya komunitasnya mempunyai hubungan keluarga karena berasal dari satu leluhur.
Serambi depan radakng, dinamakan sami’, besarnya separuh luas rumah utama, merupakan milik seluruh anggota komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari, sami’ ini berfungsi sebagai jalan, tempat rapat, tempat penyelenggaraan pesta dan tepat tidur bagi tamu-tamu yang berkunjung.
Berdasarkan karakteristik di atas, dapat diartikan bahwa salah satu fungsi radakng adalah mengantisipasi ancaman keamanan. Oleh sebab itu besar dugaan, bahwa tumbuhnya perkampungan Dayak Kanayatn dalam bentuk radakng bersamaan dengan berlangsungnya masa kayo (zaman kayau), dalam masa ini kesatuan sangat diperlukan, sehingga rumah radakng dengan bentuk panggung yang tinggi sangat cocok untuk menjaga kemungkinan buruk yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Namun demikian kehadiran orang-orang pandai dan sakti sangat diperlukan, demi keselamatan komunitas. Oleh sebab itu, jika tokoh sakti, yang dinamakan pangalangok meninggal dunia, maka masyarakat yang ditinggalkan berupaya memelihara hubungan baik dengan pamanya, dengan membangun media pantak.
Karena perkembangan alamiah, komunitas radakng terus tumbuh dan akhirnya sampai pada tingkat maksimal sehingga radakng tidak memadai lagi sebagai tempat tinggal. Pada saat inilah dirasakan perlu melakukan perluasan daerah pemukiman disertai lahirnya komunitas baru. Sebagai contoh, kasus pemekaran Sahabm (Saham) yang diikuti dengan terbentuknya radakng di sekitarnya, yang dinamakan Radakng Bingge (Binggai), Radakng Palanyo (Pelanyau), Radakng Kase (Kasai) dan Radakng Poo'.
Walaupun secara teritorial radakng-radakng tersebut telah terpisah, namun secara spiritual tetap sebagai satu kesatuan dalam perlindungan tokoh yang sama, yakni Pangalangok Ne’ Panyakng. Kesatuan ini nampak dalam pelaksanaan upacara adat nabo’ pedagi (Pantak Ne’ Panyakng) yang dilakukan secara serempak pada hari yang sama dalam satu laku.
Kasus yang terjadi dalam contoh, berlangsung pula di daerah-daerah lainnya. Oleh sebab itu, nampak bahwa faktor hubungan dengan pama (arwah leluhur) menjadi benang emas yang menjalin komunitas radakng yang satu dengan radakng lainnya, di samping faktor kekerabatan.
Selanjutnya upacara adat nabo’ pedagi (pantak pedagi) dilaksanakan dan dipertahankan. Keterikatan pada satu pama tertentu inilah yang akhirnya melahirkan konsep batasan binua/banua, yang menunjukan satuan daerah dengan adat istiadat dan hukum adat yang khas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar